Minggu, 24 Mei 2009

Perceived Risk: Teori dan Dimensi Pengukurannya



Belum lama ini beredar kabar bahwa susu berformula yang berasal dari Tiongkok ditengarai terkontaminasi melamin. Melamin merupakan senyawa kimia yang termasuk kategori logam berat yang bila dalam konsentrasi tinggi dan terakumulasi akan sulit diekskresi oleh tubuh, terutama organ ginjal, sehingga menyebabkan kerusakan ginjal, gagal ginjal kronis dan berujung pada kematian. Tiongkok memang dikenal sebagai salah satu negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi sangat pesat dengan menawarkan harga murah, sehingga banyak produk yang dihasilkannya diekspor ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Beredarnya kabar susu formula berformalin tersebut berimplikasi pada tingkat kepercayaan konsumen terhadap produk susu berformula terutama bagi konsumen yang berkepentingan erat dengan susu formula, misalnya ibu-ibu yang memiliki anak balita. Kepanikan tak terhindarkan. Akibatnya, konsumen menjadi sangat selektif dalam pembelian susu berformula. Mereka menjadi lebih teliti dan cermat dalam memilih produk susu.
Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa sebenarnya konsumen tengah berada dalam arena pemikiran tentang risiko yang mungkin akan dihadapinya ketika mengkonsumsi suatu produk. Risiko yang dipikirkan oleh konsumen karena mengkonsumsi suatu produk atau jasa akan mewarnai perilaku membeli mereka. Dengan kata lain, risiko menjadi salah atu faktor yang dipertimbangkan oleh konsumen dalam membuat keputusan pembelian suatu produk. Di lain sisi, untuk menyusun strategi bisnisnya, pemasar sangat berkepentingan dengan pengetahuan tentang perilaku konsumen khususnya dalam proses pembuatan keputusan pembelian. Ketika konsumen menganggap tinggi risiko pembeliannya maka proses keputusan pembelian akan semakin panjang atau bahkan mengurungkan niat pembeliannya, demikian pula sebaliknya. Konsumen akan memiliki keterlibatan yang semakin besar dalam proses keputusan pembelian ketika produk yang akan dibelinya adalah produk yang berisiko. Hal ini membawa konsekuensi bahwa konsumen akan bertindak untuk memodifikasi, menunda atau menghindari suatu keputusan pembelian karena dipengaruhi oleh risiko yang dipersepsikannya. Tinggi rendahnya risiko yang dipersepsikan oleh konsumen ditentukan oleh berbagai faktor. Pemasar berkepentingan untuk memahami faktor-faktor tersebut demi tersusunnya strategi pemasaran yang unggul. Oleh karenanya dalam mempelajari teori perilaku konsumen khususnya perceived risk theory menjadi hal yang cukup krusial untuk diperhatikan sebagai dasar menyusun strategi pemasaran.

PERCEIVED RISK THEORY

Perceived risk atau risiko persepsian didefinisikan oleh Oglethorpe (1994) sebagai persepsi konsumen mengenai ketidakpastian dan konsekuensi-konsekuensi negatif yang mungkin diterima atas pembelian suatu produk atau jasa. Sementara itu, Assael (1998) menyatakan bahwa perceived risk menjadi salah satu komponen penting dalam pemrosesan informasi yang dilakukan oleh konsumen. Konsumen semakin terdorong untuk mencari tambahan informasi ketika dihadapkan pada pembelian produk dengan risiko tinggi. Risiko persepsian menjadi lebih tinggi ketika (Assael, 1998:270):
- sedikit tersedia iformasi mengenai produk
- produk tersebut merupakan produk baru
- produk tersebut memiliki teknologi yang kompleks
- rendahnya kepercayaan diri konsumen dalam mengevaluasi merek
- tingginya harga produk
- produk tersebut penting bagi konsumen
Semakin besar risiko persepsian semakin besar pula kemungkinan keterlibatan konsumen pada pembelian (Engel, et.al. 1995:162). Ketika risiko persepsian menjadi tinggi, ada motivasi apakah akan menghindari pembelian dan penggunaan atau meminimumkan risiko melalui pencarian dan evaluasi alternatif pra-pembelian dalam tahap pengambilan keputusan. Kondisi ini menghasilkan pengambilan keputusan yang kompleks. Konsumen mungkin akan mengevaluasi merek secara detail. Informasi mengenai produk sangat dibutuhkan dan konsumen mencoba mengevaluasi berbagai merek. Proses pengambilan keputusan yang demikian menggambarkan adanya keterlibatan konsumen dengan suatu produk.

DIMENSI PENGUKURAN DAN MODEL PERCEIVED RISK


Pada saat isu tentang perceived risk mulai dikaitkan dengan teori perilaku konsumen, banyak peneliti keperilakuan manusia khususnya perilaku konsumen melakukan investigasi tentang perceived risk . Penelitian mengenai teori perceived risk mencakup hal-hal tentang (Havlena dan DeSarbo, 1991): 1. Sifat-sifat perceived risk, 2. Jenis-jenis perceived risk, 3. Hubungan antara perceived risk dengan kelas produk atau karakteristik produk, 4. Pengaruh perbedaan individu terhadap pengukuran perveived risk, dan 5. Pengukuran perceived risk.
Dalam penelitian Raymond A. Bauer (Bettman, 1973) menjelaskan bahwa setiap tindakan konsumen akan menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak dapat diantisipasi dengan apapun yang dapat diperkirakan kepastiannya dan beberapa konsekuensi-konsekeunsi diantaranya mungkin akan mengecewakan. Pernyataan ini mendorong peneliti lain untuk memperdalam konsep perceived risk dengan melakukan penelitian-penelitian lebih lanjut.
Ketika pertama kali konsep perceived risk diperkenalkan, diajukan konstruk untuk menjelaskan fenomena-fenomena dalam perilaku konsumen seperti pencarian informasi, loyalitas merek, dan kepercayaan terhadap orang lain didalam keputusan-keputusan pembelian. Ide dasar dibalik konstruk ini bukan merupakan hal yang baru, tetapi lebih banyak diilhami oleh teori-teori statistik, psikologi dan ilmu ekonomi. Dalam teori-teori tersebut, perceived risk dikaitkan dengan situasi-situasi pilihan yang secara potensial hasilnya bisa positif bisa negatif. Sebaliknya, dalam perilaku konsumen, konsep mengenai risiko hanya memfokuskan pada potensi hasil yang negatif saja. Potensi hasil negatif inilah yang akan menjadi perbedaan penting antara pengertian risiko dalam perilaku konsumen dengan pengertian risiko yang digunakan dalam disiplin ilmu lain (Stone dan Gronhaug, 1993).
Di awal studi tentang perceived risk, para peneliti menggunakan dimensi risiko sebagai prediktornya. Seperti yang dilakukan oleh Jacoby dan Kaplan (1972). Mereka mengoperasionalisasikan konstruk perceived risk dalam lima dimensi risiko yaitu risiko psikologi (psychological risk), risiko keuangan (financial risk), risiko kinerja (performance risk), risiko fisik (physical risk) dan risiko sosial (social risk). Melalaui penelitian dengan obyek produk televisi, pasta gigi dan vitamin, Jacoby dan Kaplan menemukan bahwa risiko keuangan memiliki korelasi terbesar terhadap perceived risk. Hasil ini kemudian di-crossvalidated dalam riset selanjutnya dengan dimensi risiko dan produk yang sama namun data terbarui (Kaplan et.al, 1974), hasilnya menunjukkan bahwa risiko kinerja (performance risk) lebih prediktif bagi dimensi pengukur perceived risk untuk banyak produk. Selanjutnya, Roselius (1971) mengembangkan penelitian yang dilakukan oleh Kaplan et.al. (1971) dengan menambahkan satu dimensi risiko yaitu risiko waktu (time risk).
Pada kesempatan yang berbeda Brooker (1984) menguji enam tipe dimensi perceived risk yang diadaptasi dari penelitian Jacoby dan Kaplan (1972) dan Roselius (1972) namun dengan obyek yang berbeda, yaitu toko gosir. Hasilnya menemukan bahwa dimensi risiko yang paling kuat berpengaruh terhadap perceived risk adalah risiko keuangan (financial risk) dan berikutnya risiko kinerja (performance risk), risiko fisik (physical risk) dan terakhir adalah risiko sosial (social risk). Selanjutnya, Stone dan Gronhaug (1993) melakukan studi dengan dimensi risiko yang sama dan menemukan bahwa risiko keuangan dan risiko psikologis adalah dimensi yang paling berpengaruh terhadap perceived risk untuk pe mbelian personal computer.
Pendapat-pendapat di atas kemudian dikembangkan oleh peneliti-peneliti lainnya, antara lain Dowling (1986) yang mengasumsikan bahwa fungsi dari perceived risk adalah probabilitas hasil (probability of outcome) dan keburukan hasil (severity of outcome). Hal ini mempunyai arti bahwa dalam suatu tindakan, terutama tindakan pembelian suatu produk atau jasa mengandung dua struktur dimensi yaitu adanya probabilitas hasil dan keburukan hasil yang tidak diinginkan. Probabilitas hasil (probability of outcome) merupakan suatu kemungkinan terjadinya hasil negatif dari suatu tindakan. Sedangkan keburukan hasil (severity of outcome) adalah tingkat keburukan hasil negatif tersebut.
Kemudian, penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa untuk menjelaskan perceived risk tidak cukup hanya dengan model sederhana (probabilitas hasil dan keburukan hasil), tetapi variabel-variabel lain akan berpengaruh terhadap perceived risk (Oglethorpe, 1994). Controllability, availability, catastrophic potential, dreadedness, dan reversibility merupakan variabel-variabel tambahan yang berpengaruh terhadap perceived risk. Oleh Oglethorpe (1994) kemudian dikembangkan model perceived risk seperti yang dikemukakan oleh Vlek dan Stallen. Dalam model tersebut ditunjukkan bahwa terdapat tujuh determinan yang mempengaruhi perceived risk pada konsumen, meliputi 1. probabilitas terjadinya risiko (probability of outcome), 2. tingkat keburukan hasil (severity of outcome), 3. kemampuan konsumen untuk mengontrol konsekuensi negative yang terjadi (controllability) 4. ketersediaan dalam ingatan konsumen mengenai suatu peristiwa (availability) 5. potensi konsekuensi negative akan mempengaruhi orang lain (catastrophic potential) 6. kekhawatiran seseorang memperoleh konsekuensi negative (dreadedness),7. kemampuan seseorang untuk mengurangi risiko negative (reversibility).
Berdasarkan model yang dikemukakan Dowling (1986) tersebut kemudian, Oglethorpe (1994), mengajukan lima variable tambahan yang bertindak sebagai determinan perceived risk melalui probabilitas hasil dan tingkat keburukan hasil. Kelima variable tambahan tersebut adalah:
1. Availability diartikan sebagai kemudahan suatu peristiwa dibawa ke dalam pikiran atau ingatan seseorang atau dengan kata lain dapat dibayangkan. Semakin mudah seseorang mengingat suatu peristiwa ke dalam pikiran, maka semakin tersedia dalam pikiran seseorang tentang ingatan akan terjadinya suatu peristiwa. Availability akan mempengaruhi estimasi suatu peristiwa akan terjadi. Kurangnya kemampuan mengingat peristiwa akan menyebabkan orang menganggap suatu peristiwa tersebut tidak ada atau tidak pernah terjadi. Sulitnya mengingat akan suatu peristiwa akhirnya akan menyebabkan seseorang mengestimasi risiko kecil. Demikian juga suatu peristiwa yang jelas maka akan lebih konkrit dan tidak abstrak.
2. Controllability atau kemampuan pengendalian adalah tingkat keyakinan konsumen bahwa kemungkinan terjadinya risiko buruk dapat dikurangi. Pada umumnya, kemampuan seseorang dalam controllability ini dipengaruhi oleh pengetahuan, keahlian, kecerdasan atau kepandaian individu. Konsekuensi negatif yang dapat dikendalikan akan dipersepsikan mempunyai probabilitas kecil dan karena probabiltasnya kecil tentu saja mempunyai risiko kecil pula. Semakin seseorang mampu mengendalikan (mengontrol) konsekuensi negatif yang bakal diterima, maka semakin kecil risiko yang dipersepsikan seseorang (Oglethorpe, 1994).
3. Dreadedness adalah kondisi emosional seseorang karena konsekuensi tertentu, yaitu reaksi kekhawatiran atau kecemasan seseorang terhadap konsekuensi negatif tertentu. Oglethorpe (1994) secara empiris telah membuktikan adanya hubungan antara dreadedness dan perceived risk. Semakin besar kekhawatiran seseorang terhadap konsekuensi negative, maka akan dipersepsikan semakin buruk dan akhirnya risiko akan dipersepsikan semakin besar.
4. Reversibility adalah potensi untuk mengabaikan konsekuensi negative dari suatu kejadian atau dengan kata lain menyangkut kemampuan seseorang untuk mengurangi risiko. Hal ini berarti konsumen menganggap kemungkinan keburukan hasil yang diperoleh akan kecil, yang berarti juga risiko yang dipersepsikan kecil. Konsekuensi negative yang dapat dikurangi akan dipersepsikan keburukannya lebih kecil dibandingkan dengan yang permanent.
5. Catastrophic potential sering juga disebut impact yaitu potensi hasil negatif akan berpengaruh terhadap orang lain, baik langsung ataupun tidak langsung karena penggunaan produk tersebut oleh seseorang. Oglethorpe (1994) mengemukakan bahwa catastrophic potential mempunyai pengaruh terhadap perceived risk. Semakin besar jumlah orang terkena dampaknya, semakin besar probabilitas setiap individu akan terpengaruh.
Verhage et.al. (1990) melakukan penelitian untuk menguji hubungan antara perceived risk dengan loyalitas merek. Penelitian dilakukan di empat negara (Belanda, Saudi Arabia, Thailand, dan Turki), dengan obyek produk sabun mandi dan pasta gigi, hasilnya adalah bahwa pada berdasar penelitian yang dilakukan di empat negara tidak ditemukan hubungan yang berarti antara perceived risk dengan brand loyalty
Arti penting perceived risk bagi disiplin pemasaran adalah sebagai alat analisis untuk mengetahui bagaimana konsumen mempersepsikan risiko atas produk atau jasa yang ditawarkan. Risiko yang diamati oleh konsumen akan membentuk persepsi tertentu pada benak konsumen. Selanjutnya persepsi risiko pada benak konsumen akan mempengaruhi perilaku mereka dalam membuat keputusan pembelian. Begitu pentingnya pemahaman mengenai perilaku konsumen mendorong pemasar untuk terus melakukan upaya untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen. Perceived risk menjadi salah satu faktor tersebut.
Perceived risk memberi pengaruh terhadap perilaku konsumen ketika konsumen dihadapkan pada proses keputusan pembelian. Seperti yang dikemukakan oleh Kotler (2000), proses keputusan pembelian meliputi:

1. Mengenali kebutuhan
2. Pencarian Informasi
3. Evaluasi Alternatif

4. Keputusan Membeli
5. Tingkah Laku Pasca Pembelian

Pengenalan kebutuhan: merupakan tahap pertama proses keputusan pembelian, yaitu ketika konsumen mengenali adanya masalah atau kebutuhan.
Pencarian informasi: suatu tahap yang merangsang konsumen untuk mencari informasi mengenai produk atau jasa yang akan dibeli. Ketika sifat pembelian dirasa berisiko tinggi, atau perceived risk-nya dianggap besar oleh konsumen, maka konsumen akan berhati-hati dalam membuat keputusan pembelian. Kehati-hatian konsumen ini diekspresikan dengan pencarian informasi secara intensif dari banyak sumber. Sumber-sumber informasi meliputi: sumber pribadi (keluarga, teman, tetangga, kenalan), sumber komersial (iklan, wiraniaga, agen, kemasan, pajangan toko), sumber publik (media massa, organisasi penilai konsumen), sumber pengalaman (penanganan, pemeriksaan dan menggunakan produk). Risiko yang dipersepsikan oleh konsumen atas pembelian suatu produk (termasuk risiko finansial dan non finansial) akan menjadi bahan pertimbangan konsumen dalam proses keputusan pembeliannya. Pencarian informasi akan semakin intensif dilakukan oleh konsumen ketika mereka berada pada situasi pembelian untuk produk-produk yang dianggap high-risk. Produk yang sifat pembeliannya berisiko tinggi biasanya ditandai oleh: 1. harga mahal, 2. frekuensi pembelian jarang, dan 3. mencerminkan citra diri. Implikasi bagi strategi pemasaran adalah, pemasar harus menyediakan informasi dalam jumlah cukup dan kualitas yang baik agar konsumen memperoleh pemahaman yang cukup tentang produk.
Evaluasi alternatif: tahap ketika konsumen menggunakan informasi untuk mengevaluasi merek alternatif dan perangkat pilihan. Semakin banyak informasi yang terkumpul dari hasil pencarian maka akan semakin kuat keyakinan konsumen untuk membuat keputusan pembelian.
Keputusan membeli: tahap ketika konsumen secara riil melakukan pembelian produk
Tingkah laku pasca pembelian : tahap ketika konsumen mengambil tindakan lebih lanjut setelah membeli berdasarkan pada ras puas dan tidak puas.
Konsisten dengan penelitian yang telah dilakukan, perceived risk dipelajari melalui dimensi-dimensi yang terus dikembangkan sesuai dengan obyek penelitian yang digunakan. Dalam konteks perilaku konsumen dimensi-dimensi yang populer digunakan sebagai indikator pengukur perceived risk adalah financial risk, performance risk, physical risk, social risk, psychological risk, time risk, dan satisfaction risk. Banyak penelitian telah dilakukan untuk membuktikan bahwa dimensi-dimensi tersebut berpengaruh terhadap
perceived risk.
Studi berikutnya menyatakan bahwa perceived risk atau risiko persepsian diartikan sebagai fungsi dari probabilitas hasil dan keburukan hasil. Pendapat ini cukup sederhana, mengartikan bahwa dalam suatu tindakan, terutama tindakan pembelian suatu produk atau jasa mengandung dua struktur dimensi, yaitu adanya probabilitas hasil dan tingkat keburukan hasil yang tidak diinginkan. Probabilitas hasil (probability of outcome) merupakan kemungkinan terjadinya hasil negatif dari suatu tindakan. Hasil negatif ini bukanlah hasil yang diinginkan oleh konsumen atas penggunaan suatu produk (misalnya, konsumen tidak mendapatkan value atau manfaat dari suatu produk seperti yang diharapkannya). Sedangkan keburukan hasil (severity of outcome) adalah tingkat buruknya hasil negative tersebut (misalnya, value yang diterima oleh konsumen dari suatu produk jauh lebih kecil dari yang diharapakan). Semakin tinggi tingkat keburukan hasil negatif semakin besar risiko yang dipersepsikan oleh konsumen sehingga produk tersebut semakin tidak diinginkan atau dihindari oleh konsumen.
Pada penelitian berikutnya diamati dimensi-dimensi yang menjadi determinan perceived risk. Oglethorpe (1994), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa varibel penentu perceived risk bukan hanya probabilitas hasil (probability of outcome) dan keburukan hasil (severity of outcome), namum juga dipengaruhi oleh variabel-varibel sebagai berikut: availability, controllability, dreadedness, reversibility dan catastrophic potential. Dengan menggunakan obyek jasa kebugaran, salon kecantikan, pasta gigi, shampoo, dan lainnya, Oglethorpe menunjukkan bahwa variabel-varibel di atas berpengaruh terhadap perceived risk. Investigasi tentang variabel-variabel penentu perceived risk terus dilakukan. Variabel tambahan yang ditemukan antara lain, time risk, dan satisfaction risk.
Hasil-hasil penelitian di atas menjadi bukti empiris bahwa persepsi risiko ditentukan oleh variabel-variabel tertentu yang dapat diketahui dan dapat diukur besarannya. Oleh karenanya bukan merupakan pekerjaan sulit jika perusahaan melakukan penelusuran tentang risiko persepsian, sebab menurut Assael (1998), risiko yang dipersepsikan oleh konsumen atas pembelian atau pemakaian suatu produk akan membentuk suatu tipe perilaku pembelian tertentu. Seperti halnya kasus susu formula ber-melamin atau biskuit yang mengandung unsur melamin ataupun produk-produk lain yang dianggap berisiko terhadap keamanan atau keselamatan konsumen tentu akan dieliminir pembeliannya oleh konsumen, bahkan mungkin akan dihindari. Fakta ini sesuai dengan teori yang ada.
Berdasarkan review dari hasil-hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep risiko dalam manajemen pemasaran yang dikenal sebagai perceived risk menjadi pertimbangan konsumen dalam proses keputusan pembelian. Risiko yang melekat pada pembelian atau pemakaian suatu produk akan menentukan apakah konsumen akan membeli atau menghindari pembelian. Semakin besar risiko yang dipersepsikan oleh konsumen maka akan semakin kompleks pertimbangan konsumen dalam membuat keputusan pembelian. Pada situasi seperti ini konsumen akan intensif mencari informasi tentang produk yang akan dibeli. Informasi yang terkumpul oleh konsumen menjadi penentu keputusan akhir, apakah membeli atau tidak. Implikasi bagi strategi pemasaran adalah pemasar idealnya menyediakan informasi produk yang cukup dalam hal jumlah maupun kualitas, sehingga konsumen yakin bahwa risiko yang melekat atas pembelian produk tersebut tidak tinggi atau dapat dieliminir.
Untuk mengetahui apakah konsumen menganggap besar atau kecil tingkat perceived risk pada pembelian produk atau jasa, maka pemasar perlu mengidentifikasinya, yaitu dengan cara melakukan riset konsumen dengan terlebih dahulu menentukan dimensi-dimensi yang berpengaruh terhadap perceived risk. Dimensi-dimensi ini dapat ditentukan berdasarkan hasil riset yang telah dilakukan selama ini. Dengan mengacu pada dimensi-dimensi tersebut, pemasar dapat melakukan riset konsumen untuk dapat mengetahui perceived risk dengan hasil yang tidak bias. Riset-riset terdahulu telah menemukan variabel-variabel seperti financial risk, performance risk, physical risk, social risk, psychological risk, time risk, dan satisfaction risk dan dimensi-dimensi yang relevan seperti
probability of outcome, severity of outcome availability, controllability, dreadedness, reversibility dan catastrophic potential.


REFERENSI

Assael, H (1998), Consumern Behavior and Marketing Action, Cincinnati, Ohio: South Western College Publishing.

Bauer, R. A. (1960). Consumer behavior as risk taking. In R. S. H. (Ed.) (Ed.), Dynamic
marketing for a changing world (pp. 389-398). Chicago: American Marketing Association.

Bettman, J (1973), Perceived Risk and its Components A Model and Empirical Test, Journal of Marketing Research, Mei, 184-190.

Bettman, J. R., & Park, C. W. (1980). Effects of Prior Knowledge and Experience and Phase of the Choice Process on Consumer Decision Processes: A Protocol Analysis. Journal of Consumer Research, 7, 234-248.

Brooker, G. (1984). An assessment of an expanded measure of perceived risk. Advances in Consumer Research, 11, 439-441.

Dharmmesta, B.S (1993), Perilaku Berbelanja Konsumen Era 90-an dan Strategi Pemasaran, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, September, hal 29-40.

Dowling, G.R (1986), Perceived Risk: The Concept and its Measurment, Journal Psychology and Marketing, 13, pp.192-210.

Dowling, G. R., & Staelin, R. (1994). A Model of Perceived Risk and Intended Risk-handling Activity. Journal of Consumer Research, 21, 119-134.

Havlena, W. J., & Desarbo, W. S. (1991). On the Measurement of Perceived Consumer Risk. Decision Sciences, 22, 927-939.

Jacoby, J., & Kaplan, L. B. (1972). The Components of Perceived Risk. Paper presented at the Third Annual Conference, College Park, M.D.

Kotler, P. (2000), Marketing Management, 10th.ed, Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall International, Inc.

Manuele, A.F. (1990), On The Future of The Safety Profession, Professional Safety, No.35, pp. 22-25.

Mowen, John C., and Michael Miller, (1998), Consumer Behavior, Prentice Hall, Upper-Sadle River, New Jersey

Oglethorpe, J.E and Monroe, B.K (1994), Determinant of Perceived Health and Safety Risk of Selected Hazardous Product and Activities, Journal of Consumer Research, No. 28, pp 326-346.

Pavlou, Paul A. (2001), Consumer Intention to Adopt Electronic Commerce Incorporating Trust and Risk in the Technology Acceptance Model.

Stone, R. N., & Gronhaug, K. (1993). Perceived Risk: Further Considerations for the Marketing Discipline. European Journal of Marketing, 27(3), 39-50.

Verhage, B. J., Yavas, U., & Green, R., T. (1990). Perceived risk: A cross-cultural phenomenon? International Journal of research in Marketing, 7(4), 297-303.